Sifat,
Nama Tahapan, dan Kedudukan Nafs dalam Perjuangan dan Peningkatannya
|
Sebuah
terjemahan dari teks klasik oleh Mahmoud Mostafa, yang membahas sifat, nama
tahapan dan kedudukan nafs dalam perjuangan dan peningkatannya. Dalam
al-Quran disebutkan secara umum lima tingkatan jiwa manusia. Oleh kaum arif,
diperinci menjadi tujuh tahapan, bahwa nafs bisa saja naik sampai pada
kedudukan yang paling indah; atau ia bisa turun sampai pada kedudukan yang
terendah dari yang rendah.
Sebelumnya telah jelas bagi kita bahwa ada tiga musuh
utama dan penyebab kerusakan dan kesesatan manusia.
Pertama, hasrat
ego (hawa an-nafs). Juga dikenal sebagai nafsu tersembunyi. Ini adalah
musuh nomor satu dan yang paling berbahaya, karena jika ia ada, maka kedua
musuh yang lainnya akan ada, dan tanpanya, maka musuh dari dalam nafs
tak akan ada pula. Musuh ini berada jauh di dalam hakikat umat manusia, yakni
di dalam nafs-nya, di sebelah kiri, dan bersifat mendorong kepada
pelanggaran (fujur). Ia adalah lawan dari sisi kanan jiwa yang
bersifat mendorong kepada kesadaran (taqwa).
Pelanggaran jiwa terjadi di dalam hasratnya dan hasratnya
itu berarti nafsunya kepada kebanggaan diri (aku!) dan kebebasan (kekuasaan
dan kedengkian tanpa batas). Musuh ini adalah penyebab utama penzaliman diri
sendiri pada manusia. Penzaliman ini menuntun kepada penolakan dan
politeisme, atau kepada kesesatan, keingkaran, dan dosa-dosa. Tidak ada obat
bagi kedua hasrat ini kecuali melalui mengingatkan nafs secara
terus-menerus tentang hidupnya yang sementara dan tentang kematian yang pasti
datang. “Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada keburukan
kecuali bagi mereka yang telah diberi pengampunan oleh Tuhanku.” (QS.
Yusuf [12]: 53)
Kedua,
hasrat akan hiasan dunia (syahwat ad-dunya). Ini adalah musuh yang
kedua, namun ia ada di luar hakikat umat manusia. Ia adalah senjata Iblis
yang dimainkannya di depan mata yang penuh birahi dari hasrat ego. Jadi ia
membuatnya seperti cermin yang menarik perhatian nafs dan menggodanya,
sehingga ia berbelok dan bergerak menuju kesenangan pribadi dan keterikatan
pada hasrat dan kecintaannya pada dunia material, yang mendorongnya hingga
terjatuh ke dalam kepalsuan duniawi dan lautan kebinasaan.
Satu-satunya obat bagi hasrat ini adalah bersikap sadar
dan tegas terhadap sifat sementara dari dunia ini, dan kesadaran akan
perlunya manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan kepadanya. Yaitu
dengan mengetahui bahwa dunia hanyalah rumah sementara dan tempat ujian dan
cobaan. Yaitu dengan memahami bahwa dunia ini adalah bagian dari sebuah
rangkaian keabadian; sebelumnya ia merupakan rumah bagi atom (dar az-zhar)
dan sesudahnya, akan muncul tahap lain, yakni alam isthmus (alam
al-barzakh). Hasrat kepada dunia ada lima, sebagaimana dijelaskan dalam
al-Quran, “Kecintaan pada hasrat telah dibuat menjadi indah bagi manusia:
yaitu kepada perempuan-perempuan, keturunan, emas dan perak, kuda-kuda yang
gagah, ternak, dan pertanian.” (QS. Ali Imran [3]: 14)
Ketiga,
setan adalah musuh yang ketiga (syaitan ar-rajim). Dia juga berada di
luar hakikat manusia. Perannya adalah untuk menggoda, menyesatkan, dan
mempercantik segala yang salah dan terlarang dan keji di dunia ini agar
membuat nafs menjadi terikat pada semua itu melalui hasratnya. Ia tak
punya maksud selain merayu dan menggoda ego, dan tak punya senjata selain
menghidupkan dan menyetir kedua hasrat ego, yaitu “keakuan” dan “kekuasaan”
sehingga manusia akan merasa bangga dengan dirinya sendiri, dan pada gilirannya
memperjauh kesesatannya. Dengan cara ini, setan menuntun manusia untuk
mengarah pada kekafiran dan politeisme, atau keingkaran dan dosa-dosa. Tiada
obat atau pun pencegahan untuk hal ini kecuali dengan terus-menerus mengingat
dan mencari pertolongan Allah, dan menyandarkan kepercayaan kepada-Nya. “Sesungguhnya
setan adalah musuhmu, maka jadikanlah ia musuhmu.” (QS. Fathir [35]: 6)
Naik atau turunnya nafs tergantung pada derajat
pengobatan dan perlindungan dari ketiga musuh ini. Jadi, nafs bisa
saja naik sampai pada kedudukan “…kedudukan yang paling indah.” Atau
ia bisa turun sampai pada kedudukan “…yang terendah dari yang rendah.”
Al-Quran menyebutkan lima tingkatan jiwa manusia. Tahap
dasar adalah yang ada bersama kelahiran kita, yang disebut dengan jiwa yang
penuh celaan (nafs al-lawwamah). Jika diabaikan dan dibiarkan dengan
dorongan dan hasratnya, maka ia akan naik kepada jiwa yang penuh perintah (nafs
al-ammarah). Dan jika ia berkembang dan dipelihara melalui usaha dan
pertahanan diri melawan hasrat-hasratnya, maka insya Allah, ia akan naik ke
tingkatan tertinggi, yakni kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah
dan Rasul-Nya saw. Tingkat yang lebih tinggi ini ada tiga, yang tepat di atas
jiwa yang penuh celaan tadi adalah jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainah),
diikuti oleh jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah), dan akhirnya pada
jiwa yang diridhai (nafs al-mardhiyyah), dan inilah yang dimaksud
dengan jiwa yang meraih tempat dan kedudukan asalnya, yang merupakan “…kedudukan
yang paling indah.”
Para arif (arifin) telah merinci dan memaparkan
masalah ini dan mempermudah umat Islam untuk memahaminya, dan
mempraktikkannya, agar tindakan pencegahan dan pengobatan menjadi mudah.
Mereka menjabarkan tujuh tingkat dari lima cakupan yang disebutkan dalam al-Quran:
1. Jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah)
Zikir yang tepat untuk menanganinya adalah La Ilâha
illallah (Tiada tuhan selain Allah). Ia adalah tingkatan jiwa yang paling
rendah dan yang paling buruk. Di dalamnya ditemukan hasrat dan nafsu yang
ekstrim akan kebanggaan diri dan kekuasaan. Jadi, ia terikat pada
karakteristik yang paling buruk, yang oleh Allah dan Nabi-Nya saw, kita
diperingatkan untuk mewaspadainya. Misalnya, kekaguman pada diri sendiri,
arogansi dan kesombongan, kekerasan hati, kesenangan membeberkan kesalahan
orang lain, berbohong, gosip, main belakang, iri, dengki, senang mengkritik,
memuji diri dengan pujian tak pantas, tidak ramah, selalu menginginkan apa
yang dimiliki orang lain bahkan walau yang dimilikinya lebih baik, selalu
kurang puas, kurang bersyukur, buta terhadap karunia yang diterima, berharap
maju tanpa usaha, egois berlebihan, ketamakan dan keserakahan yang tak
berbatas, senang menguasai, cinta pada diri dan hasrat-hasratnya, kebencian
pada yang mengkritik walaupun itu demi kebaikannya sendiri, dan cinta pada
yang memuji walaupun mereka itu munafik, menolak nasihat dan bimbingan, dan
hanya peduli pada dirinya sendiri.
Jiwa yang penuh perintah ini secara umum dibagi menjadi
dua tingkat: Pertama, jiwa binatang (nafs al-hayawaniyyah); ia
adalah jiwa yang mengejar hasrat-hasrat sensual dan kepemilikan materi tanpa
peduli itu benar atau salah, adil atau zalim, halal atau haram. Ia tenggelam
dalam kesenangan kepemilikan, seks, dan perhiasan. Ia penuh dengan nafsu,
kejahatan, dan tidak manusiawi. Ia membenci agama, dan mencintai dirinya
sendiri dengan penuh keegoisan. Ia tidak tahu apa itu puas, malu, rasa
syukur, rasa hormat, dan tak pula punya sikap yang baik.
Kedua,
jiwa setan (nafs al-iblisiyyah); ia bahkan lebih rendah dari jiwa
binatang, karena kecintaannya pada dirinya sendiri telah mencapai tahap di
mana ia menantang Allah untuk bersaing dalam ketuhanan dan kekuasaan-Nya. “Aku
adalah tuhan kamu sekalian….” Kata Firaun, dan kata Iblis, “Aku lebih
baik dari dia (Adam)…”
Jiwa yang penuh perintah ini ada pada hati yang
berpenyakit. Jika hati itu tak disembuhkan, maka nafs ini akan melanjutkan
perjalanannya sampai hati yang terbutakan dan akhirnya terkunci. Akar dari
jiwa ini adalah, ia yakin bahwa dirinya itu sempurna, dan bahwa yang lainnya
rusak, dan bahwa semua orang lain akan mati sedangkan dirinya tetap abadi. Ia
dinamakan dengan istilah itu karena begitu banyaknya permintaan dan ajakan
yang harus segera dipenuhi untuk memuaskan hasratnya. Jadi, ia menginginkan
sesuatu, dan sebelum itu terpenuhi, ia akan meminta sesuatu yang lain,
demikian terus-menerus. Manusia pada tahap ini adalah kawan dan dicintai
setan, dan musuh Allah Yang Maha Pengasih. “Kecuali pada mereka yang Allah
tunjukkan kasih-sayang.”
2. Jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah)
Zikir penyembuhnya adalah Allah (Tuhan). Ia adalah jiwa
yang ada bersamaan dengan lahirnya seorang manusia ke dunia, sebagaimana
firman Allah, “Demi Dia Yang membawa jiwa kepada keseimbangan, yang
mengilhamkan kepadanya dengan penyimpangan dan ketakwaannya.” (QS. Syams
[91]: 7-8)
Ini adalah jiwa yang telah disentuh oleh kasih-sayang
Allah, sehingga ketika ia melakukan dosa atau terjatuh dalam kemungkaran,
maka ia akan mencela dirinya sendiri dan kembali memohon ampunan dan bertobat
kepada Penciptanya. Lalu ia akan terus taat sampai ia tergelincir kembali ke
dalam dosa, lalu ia kembali mohon ampun dan bertobat, dan seterusnya. Ini
sesuai dengan apa yang dikatakan Baginda Nabi saw, “Semua manusia itu
cenderung untuk berbuat dosa, dan pendosa yang terbaik adalah yang bertobat.”
Ia adalah jiwa yang terus-menerus berada dalam fluktuasi antara ketaatan dan
kemungkaran. Di satu waktu ia tak peduli dan terjatuh, di waktu lain ia sadar
dan bertahan.
Ini adalah kedudukan awal di mana kita mulai melangkah
sejak lahir, dan dari sana kita turun atau naik. Ciri-cirinya adalah
terjadinya fluktuasi antara karakteristik antara penghuni dunia ini dan
penghuni alam setelah dunia ini. Kondisinya tidak sama jahatnya dengan jiwa
yang penuh perintah, tetapi hasratnya akan kebanggaan diri dan kekuasaan
masih aktif di dalamnya, walaupun takarannya sudah sangat ditekan atau dilemahkan.
Ini adalah tahap pertama untuk mencapai keselamatan bagi jiwa, dan langkah
pertama untuk menuju penyucian jiwa dan keberhasilannya.
3.
Jiwa yang terilhami (nafs al-mulhamah)
Zikirnya adalah Hu (kata ganti Tuhan, DIA). Ia
adalah jiwa yang telah naik melalui perjuangan dan komitmen terhadap jalannya
yang sejati, dari tingkat jiwa yang penuh celaan menuju jiwa yang secara
terus-menerus memohon pengampunan dan bertobat, baik ia berbuat dosa atau pun
tidak. Ini disebabkan oleh keyakinannya bahwa akar dari sifat-sifatnya adalah
ketidaksempurnaan, kesalahan, kelemahan, dan ketidaklengkapan.
Pada tingkatan ini, jiwa terilhami dengan kecintaan tahap
awal kepada perbuatan baik (amal saleh), dan kepada al-Quran, dan ajaran Nabi
saw. Ia juga terilhami oleh kecintaan kepada zikir, dan untuk memohon
pengampunan (istigfar), dan untuk meluruskan niatnya (niyyah),
dan untuk memperbarui tobatnya (tawbah).
Ini adalah tahap terakhir bahaya bagi jiwa, karena ia
masih tak terjaga dari kemungkinan turun kepada tingkatan yang lebih rendah,
yaitu nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Pada tingkat ini,
hasrat akan kebanggaan diri dan kekuasaan telah tidur, kecuali terlintasnya
kedua hasrat itu dalam pikiran.
4.
Jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainnah)
Zikirnya adalah Haqq (Kebenaran). Ia adalah jiwa yang
telah naik kepada tingkatan tahap yang pertama, dan meniti tangga menuju
kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah. Penyuciannya ini diperoleh
melalui meningkatkan komitmen, dan ia memenuhi kewajibannya dengan penuh
ketulusan dan kejujuran, dengan berpegang pada jalan yang hakiki dalam semua
aspeknya, khususnya dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dalam budi
pekertinya, sebelum ibadah-ibadah ritual. Nabi saw bersabda, “Jalan (agama)
itu ada pada budi pekerti,” dan “Yang paling baik budi pekertinya di antara
kalian adalah yang terbaik keimanannya.”
Jiwa yang tenteram ini telah memasuki jalan, metode, dan
sarana perlindungan dan pengobatan melalui menghitung kesalahan diri,
bertahan dari godaan, berjuang, dan dengan kesetiaan. Semua upaya ini
membuahkan hasil berupa keyakinan atas kebenaran bahwa hanya Allah sajalah
Yang berkuasa. Dia adalah Penyebab dan Penggerak segala sesuatu, karena tiada
tuhan selain Dia dan tiada penguasa selain Dia. Dan dalam segala
tindakan-Nya, Allah adalah Pengasih dan Pemurah. Dia mengetahui yang paling
bermanfaat bagi jiwa ini. Keyakinan ini mengarahkan jiwa pada kepercayaan
pada Allah. Ia mengarahkannya pada sifat Pengasih dan Pemurah-Nya. Jiwa ini
menjadi yakin bahwa yang bersama dengan Allah adalah lebih baik dan lebih
bertahan daripada segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang dimiliki
oleh orang lain. Dengan begitu, ia mencapai keyakinan yang lengkap kepada
Tuhannya; Dia Yang mengetahui apa yang terbaik baginya, dan Dia adalah Rabb
Yang Terbaik, dan Penjaga (wakil) Yang Terbaik. Jadi, jiwa akan
menjadi tenteram dan berhenti menimbuni dirinya dengan segala sesuatu selain
apa yang telah berhasil diyakininya, yaitu Tuhannya, Allah.
Pada posisi ini, jiwa memperluas kapasitasnya di luar
upaya dan kesungguhannya dalam bertobat. Ketika ia merasa tenteram bersama
Allah, pada dirinya ia memberikan posisi tambahan seperti harapan (raja)
dan ketakutan (khawf) dan kepercayaan kepada-Nya (tawakkal).
Pada tingkatan ini, jiwa yang tenteram senantiasa berzikir kepada Allah baik
di lidah maupun di hatinya. “Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi
tenteram?” (QS. Rad [13]: 28)
Ini adalah tahap pertama bagi sempurnanya (kamal)
jiwa. Hati mulai bersinar dengan cahaya kesadaran. Kekuatan ego mulai
menyusut, sehingga kesucian, keindahan, kejelasan, dan cahaya mendominasi
hati, sehingga ia menjadi jiwa yang tenteram. Pada tingkatan ini, hasrat-hasrat
kebanggaan diri dan kekuasaan jadi sepenuhnya terhalangi, dan keduanya
kembali kepada pemiliknya yang sejati, yakni Allah. Kini jiwa mulai
menunjukkan sifat-sifat sejatinya yang sebelumnya tersembunyi, yang berupa
sifat-sifat kehambaan (ubudiyyah), tak berdaya (‘ajz), kehinaan
(zhull), kemiskinan (faqr), membutuhkan (ihtiyaj), dan
kefanaan (fana).
5.
Jiwa yang ridho (nafs ar-radhiyyah)
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
rasa ridho…” (QS. al-Fajar [89]: 28)
Zikirnya adalah Hayy (Hidup). Ketika jiwa yang tenteram
naik kepada Tuhannya, cahaya hatinya semakin terang dan memenuhi keseluruhan
tubuh, mengubah hasrat-hasrat sensual ego menjadi hasrat yang telah diajarkan
oleh Nabi saw dari dalam al-Quran dan sunah. Kini hasratnya sepenuhnya hanya
untuk hal-hal seperti itu dan secara mutlak puas bersama Tuhannya. Kini
kesulitan dan kemudahan menjadi sama baginya, sebagaimana kerugian dan
keberuntungan, dan memberi atau menerima, karena setelah menjadi tenteram, ia
yakin bahwa semua tindakan dan perbuatan itu sebenarnya berasal hanya dari
Allah. Dia adalah Tuan, Penguasa, dan Penciptanya. Dia adalah Yang memberinya
pengampunan dan kasih-sayang. Dia adalah Yang Lembut dan Pemurah kepadanya.
Segala sesuatu yang berasal dari yang dicintainya pasti diterima olehnya, dan
ia puas bersamanya. Ia puas dengan apa pun yang diperintahkan Allah untuk
dilakukannya.
Pada tahap ini, watak jiwa ini adalah: jika diuji ia
bersabar, jika diberi ia bersyukur, jika dijauhkan dari keuntungan ia
menerima, jika ada perbuatan salah kepadanya ia memaafkan. Kini ia menjadi
jiwa dengan hati yang tenang dan indah. Ia berjalan di semua kedudukannya,
antara kepercayaan (tawwakal) dan merasa jauh (tafwid),
kepuasan (ridha), dan menyerah (taslim) kepada Allah. Sifat
dari jiwa ini adalah selalu ceria, penuh syukur, dan rasa terima-kasih tak
peduli apa pun yang terjadi. Ini adalah tingkatan kedua dari jiwa yang
sempurna (nafs al-kamilah), yang merupakan tahap penghambaan. Dengan
naik kepada tingkat ini, jiwa yang puas telah memasuki tingkat pertama dari “…kedudukan
yang paling indah.” Tingkatan ini terhubung dengan tingkatan di atasnya.
6.
Jiwa yang diridai (nafs al-mardiyyah)
“Kembalilah pada Tuhanmu dengan rasa
puas dan diridai-Nya” (QS. al-Fajar [89]: 28)
Zikirnya adalah Qayyum (Yang Hidup dengan
Sendirinya) pada tahapan ini jiwa bukan hanya puas dengan Tuhannya tapi juga
diridai-Nya. “Allah rida dengan mereka dan mereka rida dengan-Nya.”
(QS. Bayyinah [98]: 8)
Rasulullah saw ditanya, “Kapankah kami akan mencapai rida
Allah?” Dia menjawab, “Ketika kalian rida dengan Tuhan kalian.”
Pada tahap ini, cahaya hati telah disempurnakan. Hati
bertolak dari hati yang tenang (qalb salim) menuju hati yang secara
total merasa takut (khasyiyah) kepada Allah, secara terus-menerus
cenderung (munib) kepada-Nya, dihiasi dengan kesahajaan (haya’)
di hadapan-Nya setiap saat.
“Barangsiapa yang takut kepada Allah
secara diam-diam dan datang kepada-Nya dengan hati yang bertobat. Masuklah
surga dengan damai. Itu adalah hari yang kekal. Di dalamnya mereka akan
peroleh apa pun yang mereka kehendaki, dan bersama Kami ada kelebihannya.”
(QS. Qaf [50]: 33-35)
Orang-orang pada tahap ini adalah mereka yang menyaksikan
manifestasi-manifestasi berbagai tindakan dari nama-nama Allah (musyahadat
tajalliyyat afa’al Allah).
Manifestasi kekuasaan Allah yang telah mereka
saksikan dalam hati telah membuat mereka merasa takut di hadapan Kebesaran
dan Kekuasaan Allah dalam segala tindakan-Nya, yang pada hakikatnya adalah
manifestasi dari nama-nama-Nya. Orang pada tingkatan ini juga dikaruniai
penyingkapan dan mukjizat-mukjizat untuk membuat mereka bisa mengajak manusia
menuju cinta Allah. Pada hakikatnya mukjizat ini ditujukan bagi mereka yang
menyangkal dan menolak kebenaran, namun pada saat yang sama menyeru kepada
Allah. Kepada mereka Allah mengirimkan mukjizat melalui orang pada tingkatan
ini, sehingga ego mereka akan tunduk kepada mukjizat-mukjizat tersebut, dan
mereka akan kembali ke jalan Allah. Karena ketika Allah mencintai salah
seorang hamba-Nya, maka Dia akan mencarinya dan memanggilnya kepada-Nya. Jika
dipanggil satu kali hamba itu memberi respon, maka ia akan dibawa mendekati
Allah. Allah mencari hamba-Nya itu melalui cobaan-cobaan, atau melalui
mukjizat. Karena perintah Allah itu harus menjadi kenyataan dan sepenuhnya
wajib terlaksana.
Tingkatan ini adalah tingkatan iman yang terakhir, dan
melaluinya jiwa memasuki tingkatan “….kedudukan yang paling indah”
(ihsan), yang merupakan tujuan dan hasrat bagi seluruh hamba.
7.
Jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah)
Juga dikenal dengan istilah jiwa cahaya (nafs
al-nuraniyyah), jiwa Muhammadan (nafs al-Muhammadiyyah), dan jiwa
yang mencinta (nafs al-muhibbah).
“Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya; mereka akan rendah hati kepada
orang-orang beriman dan tegas terhadap yang ingkar. Mereka akan berjuang di
jalan Allah dan tidak akan takut celaan dari orang-orang yang mencela. Itu
adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun di antara
hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas (karunia-Nya) dan Maha
Mengetahui.” (QS. al-Maidah [5]: 54)
“Maka ikutilah aku dan Allah, dan
Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)
Zikir lahiriahnya adalah Qahhar (Yang Memaksa) dan
zikir batiniahnya adalah Wadud (Yang Mencintai). Ini adalah tingkatan
kesempurnaan penghambaan terhadap Allah, melalui kesempurnaan mengikuti
ajaran-ajaran manusia yang dicintai-Nya, Muhammad saw. Orang yang mencapai
tingkatan ini dikaruniai dengan pengetahuan tentang cinta Allah yang sempurna
baginya dan bagi Nabi-Nya saw.
Ini adalah tingkatan keindahan (Maqam al-Ihsan) dan
ia di atas semua tingkatan iman yang sebelumnya. Pada tahap ini seorang hamba
telah sepenuhnya mencapai tingkatan “…kedudukan yang paling indah.”
Dan karenanya, ia memasuki cahaya manusia yang dicintai-Nya, yang terpilih,
pada jarak "Two bow's lengths or nearer," dari
langkah-langkah kekasih-Nya, Muhammad saw. Ini adalah tahap terakhir dalam
tingkatan-tingkatan jiwa. Tahap ini tidak memiliki akhir dalam peningkatan
dan keindahannya.
Orang-orang pada tahapan ini, dalam hati mereka tidak
terdapat apa pun selain kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya, dan pada mereka
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada tahap ini, jiwa yang sempurna
menjadi cermin bagi hakikat cahaya kerasulan jiwa Muhammadan, sehingga ia
mencapai sifat-sifat kecintaan dan penghambaan yang sempurna. Pada tahap ini
jiwa menikmati cahaya-cahaya manifestasi sifat-sifat dan hakikat Allah (tajalliyat
ash-shifat wa adz-dzat al-Illahiyyah), sehingga ia bergerak dalam cahaya
kebahagiaan dalam semua kedudukan dan tahapannya. Ia adalah jiwa malaikat
cahaya yang berada dalam tubuh manusia. Ia tak lagi egois; ia tak memiliki
pilihan, dan jika ia diberi pilihan, maka ia akan memilih hanya yang dicintai
dan disukai Allah. Jika ditanya, apakah ia merasa memperoleh karunia atau
dijauhkan darinya, maka ia tidak akan tahu, karena cinta telah menguasainya
dan sehingga, ia telah secara total tidak dikuasai oleh sebab-sebab. Ia
terhinakan melalui cinta (hubb), kekaguman (walah), dan hasrat
(isyq), menuju cahaya keindahan hakikat Tuhan pemilik sebab-sebab,
yang merupakan Kecintaannya dan Pelindungnya. Orang-orang pada tahap ini
adalah orang-orang yang menjadi Kecintaan dan Hasrat Tuhan. Mereka adalah
orang-orang yang mengikuti jejak sejati Muhammad saw.
Mereka sibuk dengan kecintaan dan ibadah kepada Kebenaran
Sejati, dan tidak tertarik kepada makhluk kecuali untuk memenuhi kewajiban
mereka. Dan karena mereka telah menjadi cermin bagi cahaya Muhammadan, dengan
kokoh mereka selalu dalam Lingkupan Kenabian. Segala gerak, diam, perkataan,
dan perbuatan mereka adalah dari Allah, melalui Allah, dan menuju Allah.
Seluruh hati mereka mengikuti Manusia Terkasih dan Terpilih, Shallallahu
‘alaihi wa alihi wasallam, karena mereka telah mengetahui melalui Allah
bahwa dia (Nabi) adalah kekasih pertama, cahaya yang pertama yang bersujud,
menyembah, dan menghamba kepada-Nya. Barangsiapa dari para pecinta yang
mematuhi, mencintai, dan meneladaninya dalam sifat, perbuatan, dan ibadahnya,
akan memperoleh kecintaan Allah.
Orang-orang seperti ini adalah hamba-hamba yang telah
dibawa mendekat (muqarrabun) dan telah dipilih, dan telah mencapai
kepastian bahwa kewajiban mereka yang pertama setelah penghambaan adalah
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ini dilakukan dengan tetap mematuhi hukum dan
menjunjung tinggi agamanya. Mereka adalah para pemuka dalam pengetahuan agama
dan mereka merupakan cahaya kearifan di dalam Kebenaran. Melalui cahaya di
dalam hati mereka, manusia lain yang ada di sekitar mereka menjadi tersinari,
dan berkat zikir-zikir merekalah, pengampunan diturunkan. Mereka telah
memiliki segala yang mereka inginkan, dan mereka hanya menghendaki kecintaan
Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mencari dunia ini, tak pula mereka dikuasai
oleh dunia yang selanjutnya. Segala perhatian mereka adalah untuk mencapai
kedekatan dengan Allah, untuk mendengar dari-Nya, selalu berdekatan
dengan-Nya, karena mereka menganggap bahwa sedetik saja perpisahan dari-Nya adalah
siksaan yang lebih pedih daripada neraka. “Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa kepada Tuhan itu berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di
tempat kebenaran, dalam kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa” (QS. al-Qamar
[54]: 55).
|